Sunday, October 2, 2022

Menuliskan Aku adalah Mereka

Mereka bilang tulisan adalah buah pemikiran, apapun jenisnya. Bentuk science atau seni, sekedar hujatan di kepala atau mungkin tidak diantara semuanya. Mereka juga pernah bilang, mereka yang menulis adalah mereka yang memiliki pikiran-pikiran sibuk dan berisik. Aku sedikit pun tidak terganggu saat itu, pikiranku memang sibuk dan berisik, hanya saja kadang aku menikmatinya. Dan bukan salah Dia juga yang menciptakan gairah yang begitu hebat di otakku ini untuk bisa menari-nari sedemikian rupa. Mungkin, lambat laun aku mulai menikmati dengan cara yang berbeda. Mungkin dulu, aku menikmati terbawa dalam kesibukan dan riuh rendahnya pikiran sehingga hal yang sama terulang dan terekam dengan begitu erat dan menjadi tumpukan benang-benang kusut di kepalaku. Cukup berat untuk kubawa kemana-mana, meski sama abstaknya dengan sebentuk awan. Mudah dibayangkan tapi sulit untuk disentuh. Berbeda dengan sekarang. Riuh rendah dan sibuknya pikiran di kepala, sangat nikmat aku rasakan. Sangat dekat dengan nafas dan demi setiap peran yang menakjubkan yang aku mainkan di kehidupan penuh variasi ilusi ini. Meski perlahan sudah terkuak, tetap saja terlalu nyata dan semakin halus.

Mereka. Mereka adalah mereka yang berbeda. Meski ada juga dari mereka yang berusaha menjadikan mereka-mereka itu satu dan sama, ternyata masih saja mereka hanyalah sebuah sebutan bagi mereka yang menganggap dirinya berbeda. Aku tidak ingin terlihat berbeda, juga tidak ingin terlihat sama. Karena esensi kata berbeda sendiri mengolah sebuah identifikasi yang tidak setara dan bukan satu. Aku hanya ingin menulis. Dengan menulis aku membebaskan mereka dengan arti kata mereka yang mereka ingin sandang dan projeksikan setiap waktu, sewaktu-waktu. Bebas, tidak ada salah tidak ada benar. Bebaskan hal itu. Tidak ada apapun.

Sudah lama aku tidak menulis. Menulis apapun yang kusuka, pelajaran kehidupan, pengalaman sehari-hari, perenungan dalam pencarian kesendirian, sebuah cerita pendek atau sekedar puisi percintaan picisan. Ada rasa rindu. Rindu padaku yang gemar menulis keanehan dalam tulisan.

Di suatu perjalanan, aku juga telah bertemu mereka. Mereka yang searah, berjalan ke arah hangatnya matahari. Sedikit berbeda tapi bukan dari jenis yang sama. Mereka menulis setiap kejadian-kejadian. Tulisan-tulisan yang membawa mereka ke arah jalan-jalan yang bermekaran bersama arah mata angin. Mereka menulis setiap perjalanan dan perubahannya. Pada setiap gejolak dan rasa ada pesan penting yang disampaikan semesta kepada mereka, juga kita. Pada mereka aku mulai jatuh cinta lagi. Ada benih-benih yang tumbuh subur bersama hal-hal yang sudah dipasung sebelumnya oleh mereka. Mereka yang menolak untuk membahasakan gejolak dan rasa sebuah pikiran dalam dan pada tulisan. Memaksa sebuah lintasan literasi menjadi hal yang basi, peniadaan-peniadaan yang dimaklumatkan menjadi sebuah batu penjuru, wajib tidak terbantahkan. Aku menolak, karena ingin senormal mungkin. Meski kata normal adalah kata yang dibahasakan oleh mereka juga untuk menolak keabstrakannya. Aku berjingkat menjauh, sekali lagi tidak kubutuhkan payung teduh. Tidak ingin terlalu lekat dengan apa yang memang tidak pernah terpisah. Mereka bilang aku butuh hubungan. Lalu? Biarkan saja, aku sudah cukup mendapat kesenangannya, mendapat rasa nikmatnya. Apakah arti membutuhkan hubungan? Keterhubungan adalah cukup, setiap saat, saat ini, sekarang tanpa harus ada yang dihubung-hubungkan di masa lalu. Mereka? Mereka yang mana? Entah aku sudah lupa, baru saja mereka ada, mereka sudah lewat, sudah tidak ingat lagi.

Pada mereka pesan-pesan yang dituangkan dalam kata-kata bijak tidaklah seromantis pesan-pesan yang dibaca dengan seksama dalam kesendirian keutuhan diri yang satu dan sejati. Ini terlihat begitu tepat. Sesuai untukku dalam ruang-ruang yang tercipta. Porsi, bagian yang dicukupkan. Memanglah tidak mudah untuk mengendalikan panca indera. Ia yang hanya mampu mencipta sebuah cerita, tetapi kadang salah membahasakan apa rasa yang sesungguhnya. Hanya saja ketika itu dituliskan manis menjadi lebih lembut untuk dicerna pada setiap masing-masing kerongkongan kedahagaan manusia. Dimainkan dengan begitu mengasyikan serta sempurna oleh setiap kata dan kita. Dan aku kembali membaca yang sudah tertulis, menjadikannya kitab keabadian dalam keutuhan diriku. Aku seperti tak memiliki gaya gravitasi lagi. Dan itu sungguh menakjubkan.

1.33 6/5/2022

Hijau di hati yang mencipta kuncup


No comments: