Wednesday, June 26, 2013

A Columnist - Sebuah Profesi Yang Terlupakan

A columnist. Saya suka (banget) istilah ini. Sudah sering dengar sih hanya baru tersadar kembali.

Selain karena ejaannya mirip communist (dari bahasa latin communis, artinya common atau universal) yang pada awal (pergerakannya) bertujuan baik. Bertujuan untuk menghapusan sistem kapitalis dengan cara menciptakan masyarakat tanpa klasifikasi kelas sosial dan (hanya) bersentral pada negara. Walaupun akhirnya melangkahi HAM pada (kelanjutan) implementasinya karena menghilangkan tujuan baik dari kebebasan seorang manusia (seutuhnya). Universal itu yang saya kaitkan. Menjadi seorang columnist pada dasarnya juga menyajikan suatu perspective yang unik, tidak biasa, bisa menjadi perenungan, bisa bikin orang bergumam "Iya juga yah." pada suatu pemikiran umum, common atau universal tadi.

Menurut om Wiki, seorang columnist(s) adalah seorang (bisa juga sebuah tim) yang selalu menulis esai/artikel dengan klasifikasi tertentu.Contohnya humor, seks, life-style, ekonomi, travelling, etc. Dan memberikan sudut pandang pribadi (kelompok tim tadi) dalam sebuah kolom. Bisa di koran, majalah atau pun media publikasi lain, termasuk blog.

Di Indonesia columnist mungkin bukan suatu profesi yang (terlalu) menarik dan diperhitungkan oleh masyarakat. Tetapi di luar sana (kiblat barat) profesi ini sudah menjadi suatu bagian (penting) dari cycle kehidupan manusia, contohnya sebagai alat (cerdas) dalam taktik marketing ataupun promosi. Bahkan menjadi seorang columinist adalah batu loncatan yang tepat untuk menjadi seorang host dalam sebuah acara program atau show tunggal baik di radio maupun di televisi. Jika materi tulisan dalam kolomnya menarik dan bermanfaat bisa dicetak ulang kembali dalam koleksi buku (disebut antologi atau kumpulan).

Lucunya kalo di luar seorang columnist (baik yang terkenal maupun yang baru mau terkenal) kadang sering menolak tawaran sebagai seorang host dalam program atau show di radio dan televisi. Mereka berpikir hal tersebut akan menyita waktu mereka dan mereka takut akan mengganggu kualitas mereka dalam menulis kolomnya. Lain halnya dengan di Indonesia. Saya mengamati sebuah fenomena baru di mana hampir semua selebriti berlomba-lomba mempunyai atau menjadi host dalam program atau show tunggal (baik di radio maupun televisi). Temanya mau apa saja bisa dibuatkan, apalagi jika selebriti tersebut mau atau sedang naik daun. Dan sebuah fenomena diantara sesama artis untuk dulu-duluan menerbitkan sebuah buku. Dari novel (kacangan), biografi, buku resep masak, resep konde-an, panduan rias, etc. Jika meledak penjualannya, bisa dicarikan lagi tema untuk buku selanjutnya.Yang penting (untuk program atau show) wajah harus oke, jelek tapi cablak sedikit tidak masalah asal bisa bikin ketawa (bloon) bukan ketawa smart. Yang penting rating program atau shownya naik dan disukai penonton. Kalau untuk buku minimal wajah (model)-nya untuk cover enak dilihat, isi bukunya dibanyakin visualisasi (gambar-gambar) biar tebel dan diterbitkan oleh penerbit terkenal (selebriti kan punya uang).

Semuanya itu dilakukan tanpa berangkat dari kemampuan atau skill dalam menulis sebuah sudut pandang atau pemikiran pribadi. Seperti yang (seharusnya) dilakukan seorang columnist sebelum berangkat menjadi seorang host sebuah program atau show (tunggal) atau saat menerbitkan sebuah buku.

(Di Indonesia) skill dalam menulis sebuah sudut pandang atau pikiran (otentik) bukanlah sesuatu yang istimewa. Padahal jika boleh jujur saya yakin setiap orang sebagai manusia utuh memang dan pasti memiliki sudut pandang atau pemikiran (yang berbeda beda). Tetapi tidak semua orang bisa menyajikan (sudut pandang atau pemikiran)-nya tersebut dalam sebuah tulisan (yang baik). Hmm.. sungguh ironis. (RMP)

No comments: