Monday, April 15, 2013

Kepada Jiwa - Jiwa tak bertuan

Kepada jiwa-jiwa tak bertuan,
melayang, resah, dalam penantian,
antara dua batas dunia.
Melewati gerbang, dimana waktu tak lagi berdetak.

Kepada jiwa-jiwa tak bertuan,
garis senja sudah dilewati.
Matahari tenggelam, jingganya mewarnai laut tak bertepi,
gelombang usai tak terurai.

Kepada jiwa-jiwa tak bertuan,
raga tak lagi menari, karna musik sudah berhenti.
Tawa ganti tangis, bergulir.

Seperti pencuri, datangnya sang KEMATIAN,
tiba, merengutnya dari raga, menghilang.

Kepada jiwa-jiwa tak bertuan,
kelopak mawar luruh disebar,
merahnya mengiring langkah, 
semerbaknya menghantar.
Pulang.


Puisi diatas seharusnya sudah bisa saya posting bulan lalu, tapi entah keenganan apa yang membuat saya selalu mengurungkan niat saya. 

Saya memang selalu mempunyai tanda tanya besar mengenai konsep kematian, walaupun saya sendiri mencintai konsep reinkarnasi (kelahiran kembali setelah kematian). Kemanakah perginya jiwa yang tubuhnya sudah terbujur kaku?


Bait-bait puisi diatas tiba-tiba saja muncul di kepala saya, tak beraturan, subuh hari setelah berapa rangkaian berita kematian yang terjadi di bulan Maret 2013. Saya sungguh membenci berita kematian, terutama di pagi hari, disaat seharusnya segala aktivitas dimulai dengan sesuatu yang indah dan berseri.Bukankah memulai suatu hari akan lebih bermakna dengan suatu berita yang menyemangati? Tentu saja dengan harapan bahwa segala keindahan akan mengikuti sampai hari usai.

Dalam satu bulan (Maret) ini saya sudah dengar 3 berita kematian, ketiganya saat tawa saya masih renyah. Ibu seorang teman, ayah seorang teman dan yang terakhir bibi kandung saya sendiri, kakak dari ibu saya. Yang agak sedikit miris berita tersebut persis saat saya masih dalam keriangan yang tidak berlebihan, sewajarnya. 

Teman (SMA) saya yang ibunya meninggal tadi, beberapa hari yang lalu masih men-ceriakan saya dengan isi twitternya yang khas dengan gaya riang anak kecilnya, dan saya sempat ber'balas pantun' di arena media sosial tersebut

Teman (kantor) saya yang ayahnya meninggal, dua hari yang sebelumnya menghabiskan waktu Friday night-nya dengan saya dan seorang teman lainnya di semua small club, demi bernostalgia dengan lagu-lagu The Beatles, kesukaan kami bertiga. Kami bernyanyi, menari dan tertawa. Kira-kira dua hari sebelum itu saya juga sempat ngobrol mengenai almarhum (yang pada waktu itu belum almarhum) karena kebetulan kami makan siang hanya berdua.

Dan bibi saya yang malam sebelum meninggalnya menjadi perbincangan kami, saya dan ibu, maklum beliau memang sudah hampir lima tahun struggling dari penyakit jantungnya. Tetapi dalam setiaphidupnya selalu ada saja yang bisa kami bahas mengenainya. Selain semangat beliau demi mencintai hidup, (Almarhum) bibi saya ini orangnya cukup nyentrik (gaya menasehatinya, cerewetnya, sampe gaya berdandannya, dll). Jadi jika memperbincangkan beliau tanpa kehadirannya pun sudah cukup mengundang tawa. Yang paling saya ingat, beliau yang selalu memarahi ibu saya ketika saya masih juga menunda-nunda perkawinan saya, setelah semua perempuan dalam keluarga saya habis dinikahi oleh laki-laki mereka masing-masing. Padahal dari semua pacar perempuan di keluarga kami, pacar (sekarang berstatus suami) sayalah yang menjalin hubungan paling lama (dengan saya), sembilan tahun lamanya. Bibi saya bilang "Kenapa sich elo (menyebutnya ke ibu saya) repot amat ngurusin anak kapan nikah atau engga? Emang entar yang ngurus suaminya elo? Biar aja nunggu dia (saya) kapan maunya!" Saya selalu merasa diatas angin kalo dia sudah berbicara begitu. Beberapa cara berpikirnya sedikit lebih cocok bagi saya dibanding cara berpikir ibu saya. Itu sekitar sepuluh tahun yang lalu. Dia masih sehat, kecantikan wanita dewasa umumnya dan 'rame'. Tapi pada akhirnya saya pun bisa memahami bahwa 'rencanaMu bukan rencanaku' dan itulah yang terjadi ketika tawa bisa berubah seketika menjadi tangisan seketika, siapa sangka?

Jika boleh diumpamakan konsep kematian untuk manusia seperti halnya menunggu antrian panjang. Mereka membawa nomer mereka masing-masing. Sebuah nomer antrian, nomer kematian. Tetapi nomer antrian dipanggil secara acak, tidak ada yang tahu nomer berapa yang akan dipanggil. Ketika namanya mengantri maka urutannya harus dari besar ke kecil atau sebaliknya, yang penting sesuai urutan. Bukankah seperti itu yang diajarkan di sekolah dasar ketika kita mengantri? Hal ini tidak berlaku untuk antrian yang saya maksud, malahan ada yang belum sempat mengantri dipanggil secara tiba-tiba, sungguh aneh.

Kemana jiwa-jiwa tak bertuan mengembara sekarang? Mungkinkah mereka memang sudah memegang nomer (kematian) antriannya? Antara sadar nomer tersebut memang sudah pada urutannya sesungguhnya atau bingung karena nomernya masih jauh dari urutan yg seharusnya? Atau malah tak siap dan tidak sadar karena memang "helloow, saya sedang tidak dalam jalur antrian ini! Then why You're calling my number?!"

Jiwa-jiwa tak bertuan: 
Jiwa terperangkap pada tubuh yang menjadi tuannya selama manusia hidup di dunia fana (seperti kata Plato bahwa manusia adalah jiwa dgn tiga elemen; roh, nafsu, rasio yg terperangkap dalam sebuah tubuh). Ketika mereka meninggal jiwa tersebut melayang, meninggalkan sang tuan-nya didunia (tubuh). Kenyataan (atau kepercayaan) bahwa ada sebuah surga dan neraka membuat pemahaman bahwa jiwa (jika tidak ber-reinkarnasi) akan kembali kepada tuannya yang awal, penciptanya, Tuhan YME.

"Selamat jalan Jiwa-Jiwa tak bertuan, semoga kembali ke pangkuan Tuannya yang utama. (RMP)

PS. Dear God, please give me a chance to reincarnate as a boy, when 'my time' has come.



No comments: