Monday, March 11, 2013

Seekor Kucing yang Terluka

Dirumah kami sudah 3 mingguan ini selalu datang seekor kucing terluka, yang terluka kakinya, ia memiliki kaki kanan belakang yang patah sehingga jalannya harus terjingkat-jingkat, sepertinya terlindas oleh mobil atau motor. Si kucing terluka ada dirumah kami sejak kakinya yang terluka itu berdarah (kira-kira seminggu lamanya) sehingga Eva, gadis yang (pulang pergi) membantu pekerjaan rumah kami harus mengepel teras rumah berkali-kali karena darah kaki si kucing yang terluka tadi mengotorinya teras rumah kami, sampai luka kaki si kucing berangsur-angsur mengering walaupun tetap saja si kucing berjalan terjingkat, tidak sempurna seperti sebelumnya.



Sudah berkali-kali kami berusaha mengusir kucing tersebut. Alasannya jelas sekali saya tidak menyukai jenis binatang tersebut, sedangkan lelaki saya (saya menyebutnya seperti itu untuk menghindari sebutan "suami" yang tidak terlalu saya sukai walaupun kadang suka kelepasan juga) menganggap bulunya sangat berbahaya bagi anak kami, Grace jika terhirup, maklum saya memiliki (keturunan) sesak nafas.



Mula-mula saya atau lelaki saya menyuruh Eva untuk mengusirnya, tetapi saya selalu kembali melihat kucing terluka tersebut dirumah, sampai saya kira Eva melalaikan permintaan saya.



Akhirnya saya dan lelaki saya yang mau tidak mau turun tangan untuk mengusirnya. Jika terlihat, baik pagi, siang ataupun malam pasti kami usir. Setiap kali diusir, si kucing terluka itu selalu pergi, tetapi keesokannya kami pasti menemukan ia lagi disekitar rumah, di teras, disamping rumah atau bersembunyi dibalik pot-pot tanaman saya.



Pada suatu malam, saya sedang menemani lelaki saya makan di teras depan, kami memang suka makan "di luar" seperti itu. Mungkin karena alasan kami memang belum punya meja makan dan makan di lingkungan terbuka sangatlah nyaman, dengan semilir angin, dinginnya udara atau suara hujan sembari ngobrol apapun, pekerjaan, anak, orang tua-mertua bahkan tetangga, apapun itu. Si kucing terluka ada disitu, di luar pagar yang memang terbuka, terduduk di sudut perbatasan antara keramik teras rumah kami dan aspal depan rumah, seperti ikut menemani, takut-takut tetapi layaknya mendengarkan kami mengobrol.



"Aneh yah kucing ini." kata lelaki saya.


"Anehnya?"

"Coba dech pikir, itu kucing berapa kali coba udah kita usir? Tapi selalu balik. Lucunya selalu balik ke rumah kita, bukan ke rumah depan, samping atau belakang."

"Ih, mana kita tahu, dia juga ke rumah tetangga lain," sanggah saya kelelaki saya.

"Udah jelas bangetlah, tiap hari pasti nongol di sini."

Saya terdiam, omongan lelaki saya ada benarnya.

"Tahu ngga, yam? (lelaki saya walaupun kami sudah menikah tetap memanggil saya dengan sebutan 'ayam', ceritanya dulu pas pacaran dia bilang bau tubuh saya seperti bau anak ayam kecil. Saya pun juga punya sebutan special buat dia, tetapi lambat laun hilang bersamaan dengan waktu). Mungkin ini Tuhan sedang menguji kita."


"Menguji gimana? Menguji kok lewat kucing?"


"Iya, mengujikan bisa lewat apa aja, kali. Mungkin Tuhan mau tahu, sampai kapan sih keluarga ini berkeras hati tidak memperdulikan makhluk lemah lain? Sampai kapan prinsip mengalahkan kasih."

"Prinsip apaan?!" Saya rasa lelaki saya mulai lebay.com

"Kita ngga suka kucing!"

Kembali saya terdiam. Dia memang paling bisa membuat saya tertegun.

"Terus?" Tanya saya.

"Kasih makan gih!" Kata lelaki saya sambil menyodorkan piringnya yang isinya tinggal sisa nasi sedikit dengan tulang-tulang dan kulit ayam goreng. Mendengar itu saya lalu bangkit berdiri mencari piring kaleng yang jarang di pake didapur. Kemudian setelah saya pindahkan sisa makanan dari piring lelaki saya, saya letakkan persis disamping si kucing terluka. Saat saya meletakkan piring si kucing terluka tampak menjauh sesaat, mungkin takut akan diusir seperti biasanya tapi setelah saya kembali lagi duduk dengan perlahan si kucing terluka mendekati piring tersebut, lalu makan.


Mula-mula semuanya baik-baik saja, si kucing terluka makan dengan perlahan, santai dan tenang, sampai kemudian tiba-tiba muncul seekor kucing lain, kucing liar, sehat dan tidak terluka (sejauh yang saya lihat), mendekat lalu berusaha merebut "posisi" si kucing terluka, mengambil apa yang bukan diperuntuk baginya. Mula-mula kami berdua diam saja, toh mereka bisa berbagi, saya pikir. Tapi semakin kami perhatikan, semakin tersingkirlah si kucing terluka, karena bukan hanya satu kucing sehat yang datang, tetapi menjadi 2 lalu 3 ekor.



Entah dorongan dari mana tiba-tiba lelaki saya bangkit berdiri berusaha mengusir kucing-kucing sehat lainnya, tetapi akibatnya semua kucing menjauh, termasuk si kucing terluka. Mungkin naluri bawaan semua binatang bahwa ada bahaya mengancam



Lelaki saya dengan gaya anehnya memanggil si kucing terluka dengan sebutan "pus", memberi tanda bahwa makanan memang hak si kucing terluka tersebut. Walaupun saya agak geli sedikit kenapa semua kucing dipanggil "pus" dan mereka mengerti isyarat tersebut dan jadilah saya malam itu saya melihat pemandangan menakjubkan, seorang manusia menjaga seekor kucing yang terluka sedang makan, sesekali manusia tersebut dengan gaya anehnya mengusir kucing-kucing lain yang berusaha mendekati si kucing terluka yang sedang asyik menikmati makanannya, walaupun pada mulanya si kucing terluka sempat beberapa kali ikutan kabur mungkin berpikir bahwa ia juga ikut diusir, tapi lama kelamaan si kucing terluka mengerti bahwa ia dijaga, dipersilahkan makan, seperti itu, sampai selesai.


Sambil memperhatikan saya kemudian merenung, saya sedikit senang dengan apa yang sudah kami lakukan, sedikit 'silly' tapi membuka "hati" selain itu ada lagi yang tiba-tiba hinggap di pikiran saya, mengenai perilaku kucing terluka tersebut. Entah kenapa saya berpikir kalau alam bawah sadar saya mengatakan bahwa kucing tersebut bukan hanya 'terluka' fisik saja, tapi mungkin terluka batin (maklum saya selalu merasa binatang pun memiliki jiwa). 


Terluka batin timbul dari luka fisik yang mungkin menyiksa si kucing tersebut, bayangkan saja ketika salah satu anggota tubuh sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya lagi, sementara rasa nyaman tidak lagi bisa didapatkan dari lingkungannya, walaupun luka mengering, tetap saja jiwa "terluka", kucing liar yang seharusnya bisa gesit berebut makanan dengan kucing-kucing lainnya menjadi kucing cacat dengan gerak yang terbatas. Wajar kalo si kucing terluka tadi mencari rumah berlindung yang membuat ia nyaman, dari hujan, dari terik matahari, tempat bernaung. Mungkin si kucing terluka berpikir (bisakah?) bahwa rumah kami cukup nyaman, cukup ramah dan cukup bersahabat untuk didatangi. Mudah-mudah selamanya bisa seperti itu, dari hati-hati para penghuninya. Bukankah binatang juga memiliki naluri untuk "mengendus" manusia mana yang bisa diajak bersahabat?





No comments: