Monday, November 21, 2016

Karsam, Karsiam atau Kasem

          Karangkobar lima belas tahunan yang lalu adalah dataran tinggi bercuaca dingin. Banyak pohon-pohon liar, rindang tumbuh subur di sekitar dusun warga setempat. Ada dua buah sungai beraliran jernih tempat warga mencuci pakaian, mengambil air untuk dimasak dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Butuh lima belas menit untuk mencapainya, sambil bersenda gurau tentunya. Cerita tentang keluarga, sekolah, pengalaman perantauan dan hal-hal sepele, remeh temeh dan secuil dua cuil gosip hadir di situ, diantara mereka. Karangkobar dusun yg sebagian besar penduduk mudanya berlomba mencari peruntungan di kota yang lebih besar seperti Jakarta atau Surabaya dan Medan.

            Karangkobar, Banjarnegara, sekitar empat puluh lima tahun yang lalu. Dusun tempat lahirnya seorang gadis Jawa berwajah manis. Berkulit sawo matang, perawakannya tinggi dengan rambut hitam legam, tebal berkuncir kuda, sepinggang panjangnya. Namanya Karsam, Karsiam atau Kasem. Tidak ada yang tahu siapa nama sebenarnya. Siapa nama yang tertulis di tanda pengenal si gadis. Sang gadis melarikan diri dari dusunnya. Menolak dinikahkan di usia belia, entah dengan siapa yang pasti ia ingin bebas. Sebebas rusa betina dengan kaki-kaki kuat dan tubuh yang masih sehat. Kebebasan yang sulit diraih oleh seorang gadis di jaman itu, di umurnya saat itu dan di tempat terpencil seperti itu. Ayahku bilang ia yang menemukannya. Si gadis belia sedang termenung, entah merasa beruntung atau menyesal sudah berhasil meninggalkan dusun kelahirannya, yang pasti ia tidak menolak ajakan ayah ikut ke rumah.

          Suatu ketika kutanyakan kenapa si gadis itu percaya dengan orang yang tidak dikenal, "ayahmu mempunyai wajah dan suara orang baik-baik," begitu saja jawabnya polos. Mungkin juga itu benar. Aku rasa orang seperti itu tidak akan lagi ditemukan di Jakarta di jaman sekarang, di sebuah stasiun kereta api. Mungkin ada tapi langka. Ayah memperkenalkan gadis itu pada ibuku, ia sedang hamil tua, mengandung anak pertamanya, kakakku. Mungkin sebulan lagi akan melahirkan. Seperti pucuk dicinta ulam pun tiba, kehadirannya memang seperti itu.  Sejak saat itu si gadis manis menjadi anggota baru keluarga kami, ibu asuh bagi empat anak yang bukan darah dagingnya, berbeda suku, berlainan agama.

          Sesekali si gadis kembali pulang ke dusun Karangkobar, sesekali juga sambil membawa anak-anak asuhnya. Aku dan adikku. Saat itu sangat mudah meminta ijin dari sekolah taman kanak-kanak untuk meliburkan putra-putri mereka. Keluarga si gadis sudah memaafkan kesalahannya, sesuatu yang menurutku bukanlah sebuah kesalahan. Apa yang salah dengan menentukan nasib hidupnya sendiri? Anehnya setiap ia pulang pergi, ia tidak pernah membawa berita gembira bahwa ia ingin menikah. Seperti gadis-gadis pekerja kota lainnya, ada saja yang menemukan jodoh ketika mereka pulang ke kampungnya. Mungkin ia sudah sangat dikenal dengan cerita lalunya. Cerita bersejarah kelam yang diteruskan turun temurun pada setiap keturunan yang berasal dari dusun tersebut, baik perempuan terutama laki-laki. Kisah yang diceritakan sepanjang perjalanan menuju dua buah sungai, sumber mata air di dusun Karangkobar. Legenda seorang gadis yang melarikan diri dari takdirnya, entah takdir yang mana yang mereka maksud. Aku rasa itu yang membuat para pemuda mengurungkan niat mereka menjalin kasih dengan si gadis atau itu juga yang membuat setiap keluarga yang memiliki pemuda siap menikah berpikir dua kali untuk meminangnya. Ia seorang gadis yang tidak bisa diatur, tidak cocok jadi seorang istri, seorang ibu rumah tangga. Umurku saat itu masih terlalu kecil untuk menjelaskan bahwa mereka salah besar, bahwa ia sesungguhnya adalah gadis yg sangat keibuan, penyayang dan giat. Ia sangat sabar juga rajin dan tangguh. Bayangkan saja seorang diri mengurus tiga anak perempuan kecil-kecil ditambah juga urusan rumah a sampai z. Ibu dan ayahku keduanya pekerja kantoran.

          Hingga suatu ketika ia menemukan pasangan hidupnya, pekerja konstruksi bangunan yang mengadu nasib juga di kota Jakarta. Laki-laki itu meminangnya. Lagi-lagi aku masih terlalu kecil untuk menyadari bahwa sebuah pernikahan merupakan awal mula aku akan kehilangan dirinya. Yang kuingat aku yang menangis paling lama diantara anak-anak asuh lainnya saat mengetahui bahwa ia akan meninggalkan rumah. Hanya dua harian setelah itu aku pun lupa. Aku tidak ingat pernah datang ke pernikahannya. Ayah dan ibuku juga tidak pernah bercerita, mungkin karena aku tidak pernah bertanya pada waktu itu. Atau mereka pikir aku masih terlalu kecil dan tidak perlu tahu semua itu. Entahlah. Waktu berjalan, aku sibuk dengan kehidupan remajaku di daerah baru, bukan Jakarta. Pernah kudengar ia bertandang ke rumah bersama suaminya, ibu bercerita lewat telepon interlokal ke telepon pemilik kos saat itu. Selain itu aku tidak pernah bertemu dengannya, mendengar suaranya pun tidak pernah. Melupakan sesuatu memang mudah jika dibantu dengan waktu dan umur. 

          Lalu suatu sore ia datang berdua bersama anak pertamanya, Rosa namanya. Aku sempat membawa anaknya yang remaja itu pergi ke sebuah kompleks hiburan di Jakarta Utara. Sementara itu ia menunggu di rumah, temu kangen dengan ibu dan ayahku. Jiwa muda nan labil cukup membuatku tersanjung, ia mengasihiku begitu besarnya hingga menamai anak pertamanya dengan nama yang sama dengan namaku. Hanya itu saja, tidak ada yang bisa aku perbuat lebih. Ada sedikit, memberikan sebagian kecil uang dari gaji pekerjaan pertamaku saat itu. Sekarang aku merasakan, itu tidak cukup, sangatlah tidak cukup. Sama sekali tidak cukup. Benar-benar tidak cukup.


(Karangkobar yang berduka, 2015)

No comments: