Sunday, September 13, 2015

Revisi Permenaker No.12 Tahun 2013. Bahasa (Indonesia) Barrier pada Investasi Asing di Indonesia?

Sesuai dengan pengumuman Menko Darmin Nasution yang dilansir pada 11 September 2015 kemarin mengenai 134 Peraturan Pemerintah yang telah direvisi, pada Kementerian Ketenagakerjaan disampaikan bahwa ada 2 PP dan 1 turunan peraturan  yang berubah atau mungkin sudah berubah dan tinggal disahkan saja https://www.youtube.com/watch?v=wyYkvtQprvM 

Dari 134 perubahan pada Peraturan Pemerintah tersebut memang belum dijelaskan peraturan yang mana dan seperti apa revisinya, meski demikian Darmin Nasution sendiri berjanji akan sesegera mungkin menginformasikan hal tersebut di website masing-masing kementerian. Hanya saja otak saya tiba-tiba sedikit teringat dan tergelitik dengan salah satu peraturan yang berubah seketika dalam Kementrian Ketenagakerjaan persis bulan Juni 2015 lalu, yaitu Permenaker No.12 tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Presiden Jokowi beberapa bulan sebelumnya memang pernah mengajukan pencabutan regulasi kepada Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri tentang pembatalan persyaratan berbahasa Indonesia untuk Tenaga Kerja Asing (TKA), beliau menyebutkan bahwa hal itu baik dilakukan untuk meningkatkan iklim investasi asing di Indonesia. Perubahan ini tentu saja mengundang polemik tidak hanya dikalangan elit politik tetapi juga bagi praktisi ketenaga kerjaan (seperti saya) bahkan sampai ke lapisan akhir, pelaku kerja itu sendiri, Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Kondisi ini dilihat sebagai keberpihakan pemerintah bahkan negara terhadap TKA. Sementara menurut saya sendiri alasan pencabutan persyaratan tersebut tidak relevan atau nonsense.

Jika kita menarik garis benang merah yang dibuat oleh Jokowi atas alasan pencabutan pasal 26 butir terakhir dan disetujui oleh Hanif Dhakiri - tidak bisa dipungkiri bahwa sepertinya baik Jokowi maupun Hanif Dhakiri mencampur adukan peran investor dan TKA. Kita tidak bisa memahami dengan setepat-tepatnya apa yang dimaksud dengan investasi asing dalam pengertian kalimat presiden kita saat mengutarakan alasan deregulasi tersebut. Apakah murni peluang investasi asing dalam tatanan perekonomian Indonesia? Atau malah mengaburkan arti bahwa TKA juga dilihat sebagai sebuah investasi bagi negara, selayaknya seorang pemilik perusahaan melihat tenaga kerjanya sebagai sebuah investasi jangka panjang dalam sebuah perusahaan. Hingga asumsi yang berkembang bahwa ketika investor asing menanamkan modalnya di Indonesia secara otomatis mereka lebih mempercayai laju bisnisnya di Indonesia kepada TKA (biasanya memiliki kewarganegaraan yang sama). Maka ketika dalam sanggahannya Hanif Dhakiri mengungkapkan sikap optimisnya agar kita tidak perlu khawatir bahwa nantinya pencabutan persyaratan tersebut akan mengancam pekerja dalam negeri maka saya berpikir sebaliknya. Sekarang kita harus semakin menjadi khawatir karenanya. 

Saya akan coba menguraikan sedikit pemikiran lewat beberapa pengalaman saya dan beberapa teman praktisi ketenagakerjaan selama berurusan dengan TKA yang tentu saja banyak bersinggungan dengan pelaksanaan Permenaker No.12 tahun 2013 tersebut di lapangan kerja. Dalam prakteknya Permenaker No.12 tahun 2013 sudah sering kali menyalahi aturannya. Saya bisa bilang seperti itu karena selalu bekerja di perusahaan asing sehingga banyak pelaksanaanya yang luput dari pandangan halayak ramai, bahkan ketika saya berpindah ke Non profit Organization (NGO), organisasi yang dimaksud memiliki funding utama dari negara asing.

Saya akan mulai dari pasal yang paling awal, mengenai jenis pekerjaan yang boleh dipegang oleh TKA. Bahwasanya  pekerjaan tersebut harus bersifat darurat, mendesak sehingga apabila tidak ditangani secara langsung dapat mengakibatkan kerugian fatal bagi perusahaan atau masyarakat umum (pasal 1 butir 7) sudahlah diketahui dengan baik oleh setiap pemberi kerja TKA. Pemberi kerja juga memahami benar bahwa pekerjaan yang diperbolehkan untuk seorang TKA haruslah bersifat sementara dan dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Serta yang paling penting dan sering dilanggar tentunya adalah bahwa pekerjaan tersebut tidak dapat diperpanjang.(butir 8), hal ini diperkuat pada pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut; Pemberi kerja hanya dapat mempekerjakan TKA dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu (diperkuat oleh peraturan terpisah lain mengenai daftar posisi yang tidak boleh dijabat oleh TKA) dan waktu tertentu. 

Pada kenyataannya adalah sudahkah pemberi kerja memahami benar perihal pasal ini? Posisi apa saja yang tidak boleh dijabat? Berapa lama maksimal TKA bisa bekerja di Indonesia? 1 bulan? 6 Bulan? Atau maksimal 5 tahun sesuai Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang sudah disetujui dan disahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Bisa saya paparkan dengan baik beberapa contoh pelanggarannya. Ketika pada sebuah perusahaan didapati seorang TKA yang menduduki posisi tertinggi dalam departemen keuangan. Tentu saja ini salah satu posisi yang tidak diperbolehkan diduduki oleh seorang TKA. Sementara pada sebuah perusahaan konstruksi seorang rekan yang juga praktisi ketenagakerjaan ditemukan bahwa seorang pejabat tertinggi departemen Keselamatan Kerja, Kesehatan dan Lingkungan (K3L) - juga posisi yang tidak bisa diperbolehkan bagi seorang TKA. Atau ketika di sebuah organisasi, seorang Country Director bisa memiliki sebuah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT) yang telah diperpanjang beberapa kali bahkan ada organisasi lain yang membuatkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) untuk TKAnya. Menarik bukan?

Pada awal perencanaan setiap pemberi kerja wajib membuat RPTKA. RPTKA inilah yang nantinya menjadi acuan pemberi kerja mendapatkan Ijin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA) atau tidak. Pertanyaannya adalah seberapa efektif sebuah RPTKA ketika formulir tersebut pada akhirnya selalu hampir 95% menghasilkan IMTA? Dan jarang sekali terjadi penolakan dalam hal mempekerjakan TKA pada sebuah RPTKA. Lalu ketika sebuah IMTA diperoleh atau/dan terjadi perpanjangan, sudahkah syarat-syaratnya terpenuhi? Termasuk persyaratan TKA yang diatur dalam pasal 26? 

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 26, TKA diwajibkan memiliki pendidikan yang disyaratkan dalam jabatan yang akan diduduki TKA tersebut. Memiliki kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi atau memiliki pengalaman kerja yang akan diduduki TKA minimal 5 tahun. Bersedia membuat pernyataan untuk mengalihkan keahliannya kepada TKI pendamping dan butir D yang sudah dihapuskan; TKA diwajibkan dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Butir D lebih lanjut akan saya bahas  dibagian terakhir.

Pada pasal 26 ini banyak sekali celah yang terbuka bagi pertanyaan-pertanyaan baru. Pertanyaan-pertanyaan yang menurut saya baik adanya sebagai salah satu proses dalam pengawasan berkala. Mengenai sertifikasi profesi contohnya, apakah sertifikasi profesi dari instansi luar negeri sudah cukup atau bahkan dianggap lebih tinggi standarnya dari sertifikasi profesi di Indonesia? Saya kurang setuju, tentu saja. Boleh dibilang ada beberapa sertifikasi profesi yang mengkondisikan faktor sosiografis di Indonesia sebagai indikator kelayakan yang spesifik dengan negara lain. Contohnya pada engineer kelistrikan atau teknisi pesawat terbang yang beroperasi di Indonesia. Sementara jika benar investor asing lebih menyukai TKA (biasanya berasal dari negara yang sama, minimal benua yang sama), pada dasarnya ada faktor yang memicu bahwa TKA tersebut adalah calon-calon successor yang menjadikan lapangan pekerjaan di Indonesia sebagai arena pengujian. Kenyataan bahwa posisi yang diduduki oleh TKA sebelumnya kurang dari 5 tahun atau bahkan malah TKA tersebut menduduki posisi dibawahnya sebelum menjabat posisi di Indonesia sering terjadi. Misalnya seorang TKA yang sebelumnya bekerja di perusahaan pusat hanyalah seorang staff biasa, ketika ditempatkan di anak perusahaan di Indonesia menduduki posisi manajerial. Hal tersebut bisa dan kerap terjadi jika baik investor maupun TKA berpikir bahwa level pertarungan seorang staff biasa di luar negeri sama dengan level pertarungan seorang yang menduduki posisi manajer di Indonesia, begitu seterusnya sampai pada level BOD. Indikasi ini menunjukan bahwa ada (asumsi) gap antara posisi dan tantangan dunia kerja di luar negeri dan di Indonesia yang tentu saja diikuti dengan nilai nominal upah seorang pekerja. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi ketika pendapatan seorang TKA dengan posisi staff pada saat di luar negeri berubah menjadi pendapatan seorang manajer saat di tempatkan di Indonesia dan tentu saja dengan rate yang mengikuti kantor pusat sebelumnya, bukan rate seorang manajer di Indonesia. Oh iya tidak lupa juga saya menambahkan faktor nilai tukar dollar (biasanya USD) terhadap rupiah yang memang beberapa tahun belakangan ini menukik cukup tajam.

Kembali pada kenyataan bahwa IMTA pun tidak efektif dalam pelaksanaan pemberian kerja TKA, ada hal yang menurut kami (saya dan rekan sesama praktisi ketenagakerjaan) lucu dan sering menjadi lelucon diantara kami, yaitu adanya kekhususan pengaturan IMTA pada profesi pemandu nyanyi atau karaoke (pasal 43). Tentu saja saya bukan mau memandang sebelah mata terhadap profesi tersebut, tetapi terus terang saya tidak yakin dan mungkin tidak akan pernah yakin bahwa para TKA yang berprofesi pemandu nyanyi atau karaoke tersebut sudah menjabat profesi yang sama selama 5 tahun sebelumnya. Atau bahkan bersertifikasi? Pastinya mereka tidak jauh berbeda dengan TKI yang memiliki profesi serupa, hanya lagi-lagi soal upah yang pastinya jelas jauh berbeda. Ajaib bukan? Apakah hal ini dikarenakan bagi orang Indonesia  menyanyi menjadi suatu kegiatan yang begitu pentingnya hingga TKA yang berprofesi ini pada akhirnya harus diatur secara spesifik dari profesi lainnya? Sementara jika digali lebih dalam lagi akan banyak sekali pelanggaran terhadap Permenaker No.12 Tahun 2013 yang terjadi di lapangan terutama saat bersinggungan dengan industri impresariat atau hiburan. Hanya pejabat (terkait) mungkin yang bisa memahaminya.

Belum lagi perihal kelancaran administrasi TKA seperti Kartu Ijin Tinggal Sementara (KITAS) dan Kartu Ijin` Tinggal Tetap (KITAP) seperti masa berlaku dan perpanjangan. KITAP sendiri saya rasa sudah bertentangan dengan prinsip dasar yang ditetapkan pada awal pasal peraturan ini - bahwa maksimal masa kerja TKA adalah 5 tahun. Tentu saja bisa diperpanjang dengan maksimal 5 tahun lagi apabila jenis pekerjaannya impresariat dengan pertimbangan kondisi pasar kerja dalam negeri. Pertanyaannya, kondisi seperti apa yang menjadi pertimbangan perpanjangan TKA tersebut?

Hal-hal yang saya uraikan diatas tadi adalah beberapa kondisi nyata yang terjadi terhadap terapan Permenaker No. 12 Tahun 2013. Termasuk yang tidak bisa kita dipungkiri secara gamblang, nyata dan umum bahwa selama ini TKA yang bekerja di Indonesia nyatanya tidak diwajibkan mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, bahwa tidak ada sanksi apapun yang dikenakan apabila pasal ini dilanggar bahkan tidak ada sistem pengawasan yang efektif untuk pelaksanaannya persis saat peraturan itu masih ada dan berlaku. Lalu ketika Jokowi mengajukan penghapusan butir D tersebut pada pasal 26 mengenai persyaratan bahwa TKA diwajibkan mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan secara jelas didukung oleh Sekertaris Kabinet, Pramono Anung dengan dalil bahwa semua regulasi yang menjadi barrier (pembatas) peningkatan perekonomian harus direvisi, lagi-lagi sebuah tanda tanya besar menghampiri saya. Benarkah deregulasi serta merta menciptakan iklim investasi yang kondusif dan menjamin keadilan perekonomian bagi rakyat Indonesia? Jika sekali pun benar, apakah memang penyebab utamanya semata-mata hanya ketidak kemampuan TKA untuk berbahasa Indonesia bahkan di tempat dimana mereka mendulang berlian? Ini sungguh ironis mengingat berapa banyak TKI kita yang berlomba-lomba untuk bisa bekerja di luar negeri bahkan tanpa persiapan kompetensi dan hanya bermodalkan bahasa dunia (bahasa Inggris) yang pas-pasan dengan upah yang ternyata biasa-biasa saja. Lalu dimana arti investasi pada TKI sendiri? Karena jika kemampuan berbahasa (Indonesia) dianggap sebagai batu sandungan atas peningkatan ekonomi di Indonesia maka di luar sana kemampuan berbahasa pula yang menjadi batu penjuru peningkatan perekonomian dunia.

No comments: