Monday, September 7, 2015

Mendekat pada Tuhan (yang saya akui)

Rumah saya persis di belakang gereja.
Ketika pertama kali menimbang untuk memutuskan mengambil rumah tersebut, orang tua saya adalah orang yang paling bersemangat meyakinkan kami, saya dan suami. Ibu saya berceramah tentang keuntungan kenapa kami harus membeli rumah itu dengan panjang lebar yang intinya kira-kira begini; "Ini pertanda baik dari Tuhan. Kamu dibuat sangat dekat, sehingga menghadapNya tinggal berapa langkah saja. Godaan untuk pergi ke gereja itu banyak, tapi dengan jarak yang begitu dekat, godaan-godaan seperti tidak ada waktu, malas bangun pagi, malas kena macet, malas bersiap-siap akan hilang secara otomatis. Kamu akan lebih dekatNya karena pastinya akan banyak orang-orang lingkungan yang seiman." Terdengar sangat religius bukan?

Sementara pertimbangan kami lebih sedikit rasional. Selain karena harganya yang terbilang murah untuk luas tanah yang ada. Akses ke jalan tol menuju kantor kami berdua yang memang searah cukup dekat." Untuk sementara itu saja cukup bagi kami. Lain-lainnya memang ternyata menyusul begitu saja, seperti tidak pernah kena banjir, lingkungan bermain anak yang memadai dan sehat serta akses untuk memperoleh kebutuhan sehari-hari yang sangat mudah. Lagi-lagi orang tua saya bilang, ini pertanda baik dari Tuhan. Kami bilang ini sebuah kebetulan yang menguntungkan selain hmm.. area yang buruk dalam menangkap sinyal internet.

Entah kenapa semakin ke sini, alasan-alasan yang disampaikan oleh ibu saya semakin jauh saja dari kenyataan. Bukan berarti saya tidak sama sekali pergi ke gereja, hanya saja hal itu tidak menjadi prioritas. Bahkan sampai sekarang kebiasaan ibu saya sejak jaman saya SMA tidak pernah hilang, bertanya apakah saya sudah ke gereja atau belum. Ada juga masa-masa dimana saya harus berbohong hanya untuk menyenangkan orang tua. Sayangnya mereka bahkan cukup serius dengan pertanyaan itu sampai-sampai orang seisi rumah harus ditanyakan termasuk asisten rumah tangga kami, walaupun tak jarang anak saya juga keceplosan. Maklum anak kecil menjawabnya masih polos dan jujur. Lama-kelamaan saya jengah dan bosan yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk jujur saja. Kalau belum pergi ke gereja ya bilang saja begitu.

Sejujurnya saya tidak ingin mengkritik apa pun dari cerita ini, sudah cukup rasanya berdebat dengat satu kutipan Alkitab yang saya yakini, bahwa gereja hanyalah sebuah bangunan di mana bernaung umat Kristiani, sementara yang terpenting adalah apa yang ada di dalam hati masing-masing individu itu sendiri. Mereka yang tidak pergi ke gereja tidak berarti lebih buruk dari yang melakukannya begitu juga sebaliknya. Sambil sedikit mengutip kata-kata Abraham Lincoln tentang Agama; When I do good, I feel good. When I do bad, I feel bad. That's my religion - yang saya tidak tahu kebenaran asal muasalnya. Sama halnya dengan penandaan yang jelas bahwa saya pun ingin berusaha sebisa mungkin berbuat apa yang mereka sebut sebagai kebaikan lewat tindakan-tindakan yang memang dikategorikan baik secara umum dan dianjurkan dalam agama apa pun, tanpa terkecuali.

Rumah saya persis di belakang gereja, dekat sekali, sangat dekat bahkan dengan suasana yang tenang saya bisa mendengar khotbah dari pastor serta lantunan lagu dari paduan suaranya, sambil merenung dengan leluasa dan beradu argumen atas apa yang saya dengar jelas dengan apa yang saya pikirkan, sesekali dengan sebatang rokok dan secangkir kopi hitam. Bagi saya pada akhirnya hal itu menjadi sebuah alasan rekaan yang membuat saya berpikir buat apa mendatangi sebuah bangunan ketika saya bisa merasa dekat sekali dengan Tuhan (yang saya akui), tanpa harus pergi ke sana.


Renungan di malam Minggu, 5/9/2015

No comments: