Tuesday, July 21, 2020

Kematian part.2

Bagi sebagian orang tema kematian merupakan sesuatu yang unik, menarik, misterius dan seksi. Kematian menurut mereka bukanlah sesuatu yang mengerikan ataupun menyedihkan sedikit pun, malahan sesuatu yang indah (mudah-mudahan begitu saat kejadian sesungguhnya). Sebut saja imajinasi-imajinasi kita tentang malaikat pencabut nyawa, keranda, menantang kematian (jika saya boleh gantikan kata 'bunuh diri'), nafas terakhir, mati suri, lubang kuburan, nisan, prosesi kematian, mayat, dsb sampai dengan reinkarnasi (silakan ditambahkan lagi). Saya sendiri dari dulu punya perhatian khusus tentang kematian. Menurut saya satu-satunya yang pasti dan absolut dalam kehidupan manusia hanyalah kematian. Itu dulu. ‬

‪Apabila disuruh memilih, saya akan lebih rela hati datang menghadiri sebuah upacara penguburan dibanding pesta pernikahan, jujur. Ada sesuatu yang membuat saya selalu ingin mengamati, menilai lalu belajar dan belajar dalam setiap peristiwa-peristiwa kematian tersebut. Mungkin termasuk pengingat, eling, orang Jawa bilang lalu merenung tidak jelas pastinya, gaya saya memang tidak pernah jelas hehe.. Terkadang saya suka sekali ikutan menitikan air mata, bukan karena terkenang yang berpulang, karena banyak juga dari mereka yang saya tidak kenal, tetapi terlebih karena aura senyap dan syahdu yang membuat saya terbawa suasana (saya pikir hampir setiap orang begitu), tetap saja saya menikmatinya. Tiga sampai empat bulan belakangan ini, saya sering sekali mendengar berita tentang kematian, baik dari teman terdekat saya (benar-benar dekat amat sangat sekali), tetangga sebelah rumah persis, sampai saudara jauh. Tentunya dengan kondisi seperti sekarang ini setiap prosesi penguburan terasa lebih menyedihkan bagi sanak dan kerabat yang ditinggalkan, baik bagi mereka yang dinyatakan meninggal bukan karena wabah, terlebih mereka yang meninggal dikarenakan positif terjangkit wabah tersebut. Mereka yang melayat jauh lebih sedikit jumlahnya dari kondisi saat wabah ini tidak pernah ada. Bukankah dalam pandangan kebanyakan semakin banyak yang melayat semakin mengidentifikasi strata sosial maupun interaksi dalam kehidupan yang bersangkutan? Tidak jarang juga biaya prosesi sebuah kematian pada sebagian orang menjadi  tak terhingga. Semakin menarik bukan, semua hal tadi semata-mata dilakukan dalam upaya penghormatan terakhir, sebelum akhirnya mereka benar-benar pergi. Tetapi benarkah demikian bahwa mereka benar-benar sudah pergi? 

Setahun terakhir, cara saya melihat sebuah kematian lambat laun berubah, yah meski dari dulu saya percaya juga tentang reinkarnasi, meskipun konsep itu tidak pernah ada dalam ajaran agama saya. Kematian yang selama ini menjadi momok yang tidak lepas dari setiap kondisi dan situasi manusia ternyata lagi-lagi bukanlah sesuatu yang absolut. Kematian nyatanya tidak pernah membuat seseorang menjadi tidak ada lagi, sesungguhnya mereka hanya tidak ada dalam kehidupan yang diciptakan dan diprojeksikan dalam tubuh, pikiran melalui pengalaman-pengalaman manusia itu sendiri, baik mereka yang telah meninggal, juga bagi mereka yang telah ditinggalkan. Memori atau ingatan yang kita simpan saat ini hanyalah sekedar pengalaman-pengalaman yang kita lalui sejak kita dilahirkan sampai dengan sekarang ini. Nyatanya ada perihal lain yang jelas melampaui tema kematian yang selama ini saya pikir sebagai satu-satunya yang absolut dalam diri dan kehidupan manusia. Akhirnya hal-hal yang bertemakan kematian, baik yang menakutkan, menarik, misteri, seksi dan indah tadi semuanya hanya ilusi. ‬

Ada suatu ketika saya pernah membayangkan bahwa kematian juga seumpama kita yang sedang bersiap-siap memegang tiket antrian, sebuah nomer kematian. Setiap orang punya. Ironisnya meski sudah bersiap-siap dengan nomernya masing-masing (tentunya yang saya maksud adalah umur) tetap saja dilalah nomer lain yang dipanggil (Kematian part.1). Ketika saya membaca kembali apa yang pernah saya tulis, saya jadi tersenyum-senyum sendiri dengan apa yang pernah saya pikirkan. Satu tema sama dengan cara melihat yang berbeda, dari satu diri yang melewati fase waktu berbeda, ada yang mendekati, juga yang berbeda sama sekali, tetapi jelas berubah. Menyadari projeksi pengandaian yang saya ciptakan sedemikian rupa saat itu, saya menarik benang merah, bahwa apa yang saya bayangkan saat itu dengan apa yang sekarang ini saya yakini terletak pada perbedaan pemahaman akan sebuah kesadaran jati diri dalam melihat sebuah kematian. Kesadaran yang seperti apa? Tentunya bukan kesadaran yang kebanyakan dibayangkan orang ketika kita berbicara tentang kesadaran pada umumnya. Kesadaran umum hanya memberi pemahaman bahwa realitas kematian yang selama ini diyakini mengandung sebuah konsep waktu, datang dan pergi, ada lalu tiada, muncul dan hilang, hidup lalu mati. Tetapi kesadaran tertinggi adalah diri sejati. Hal ini bukanlah sebuah klaim keangkuhan yang berusaha menyatakan bahwa ia sudah melekat erat ketika kita mengetahuinya. Karena dalam konsep mengetahui lalu melekat membutuhkan tubuh dan pikiran, sementara diri sejati terbebas darinya. Kesadaran tidak pernah berdiam. Ia adalah sebuah perjalanan tanpa titik awal dan akhir, selalu ada hanya pada titik kesadaran akan keberadaan saat ini, bahkan ketika membaca tulisan saya ini. Diri sejati yang bersemayam dalam tubuh manusia sebagai cangkang sementara tidaklah pernah lenyap. Ia bukan tubuh juga bukan pikiran, baik lewat ingatan maupun kejadian-kejadian alamiah manusiawi yang berlangsung dalam kehidupan manusia itu sendiri. Ia masih akan ada dan satu dengan kita dalam bentuk dan rupa yang tak terbatas, melampaui proses-proses kelahiran juga kematian (konsep waktu). Tentu saja secara kasat mata, kita manusia tidak bisa mengenalinya kecuali membawanya pada pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang bersumber pada intelektual diri sejati. Intelektual atau kebijakan yang mengendalikan pikiran lewat lima tahapan yang terus menerus harus dilewati dan diasah (tahapan pertama: mendengarkan lalu  mengetahui tentang pengetahuan apa yang disampaikan, tahap kedua, memahaminya secara utuh baik lewat pemikiran dalam mempertanyakan kembali atau beargumentasi, tahap ketiga bentuk kontradiksi proses - mengerti tetapi tidak mengaplikasikannya dalam hidup, istilahnya hanya pemahaman sebatas teori, tahap keempat bermeditasi, tahapan yang terakhir - bukan hanya mengetahui, memahami, memikirkan dan mempertanyakannya kembali tetapi hal itu nyata dalam hidup saya, termanifestasikan dan teraplikasikan secara murni dalam kehidupan saya saat ini)*. Intelektual dari pikiran yang selama ini kita asumsikan sebagai suatu pandangan yang nyata sebagai diri pada posisi yang mengalaminya. Meski sesungguhnya juga bukan.

Add caption
Pengetahuan akan diri sejati sesungguhnya sudah ada hanya tidak dan belum diketahui, sudah tersedia hanya belum terlihat atau dilihat. Hal ini menjadi begitu penting karena pada akhirnya ketika sebuah pengetahuan akan diri sejati dikenali, maka temuan-temuan lain dan sebelumnya ada menjadi terbantahkan dan berguguran. Salah satu contohnya ketika saya pernah mengidentifikasi bahwa satu-satunya yang pasti ada dalam manusia dan kehidupannya adalah kematian. Tentu saja pada yang absolut atau pasti hanyalah satu, maka sisanya bukan. Tidak hanya itu, ia juga mampu memberikan solusi atas kesedihan dalam sebuah fenomena kematian bahkan solusi bagi setiap penderitaan manusia. Permasalahan yang datang silih berganti, muncul dan pergi, terus berulang-ulang dan pastinya tidak pernah menetap. Ketika berbicara solusi, tentunya bukan sebuah intensi dingin dalam mengesampingkan fenomena kematian yang ada apalagi dengan mengatakan bahwa pada akhirnya manusia, hidup serta kehidupannya tidaklah menjadi begitu penting lagi, malahan sebaliknya. Penting, berharga dan terutama. Pengetahuan tertinggi tersebut apabila pada akhirnya mampu melewati lima tahapan tadi, sejatinya merupakan kesadaran yang alamiah terjadi pada setiap orang, sesuatu yang biasa, ada dan sederhana. Sebuah pengalaman berkehidupan secara penuh, tanpa harus terjebak dengan masa lampau atau berspekulasi pada masa yang belum terjadi. Pengetahuan itulah yang akhirnya menjelma dalam pemahaman bahwa sebuah kematian tidak menghentikan apapun pada sosok manusia, karena sesuatu yang tidak terbatas tidak pernah selesai, tidak juga berpindah, meninggalkan ataupun mencapai suatu objek tempat yang seringnya kita asosiasikan sebagai surga atau pun neraka, sebuah pilihan atas pengandaian akhir dari kehidupan seorang manusia, atau bukan juga perjalanan kembali kepada Tuhan yang diasumsikan sebagai pemilik setiap kehidupan dan jagat raya. Tuhan tidak juga sebagai Ia yang berjarak. Diri sejati yang ada dalam cangkang sosok manusia juga bukan kesadaran yang terpisah-pisahkan satu dengan yang lainnya, sehingga ketika cangkang ditinggalkan maka kesadaran tetaplah ada dan nyata. Semuanya menjadi gugur karena keberadaannya hanyalah satu. Diri sejati yang tidak bertepi, tidak lain adalah saya, kamu, dia, mereka, saudara, pasangan dan semua yang melampaui segala identitas itu sendiri termasuk mereka yang telah meninggalkan tubuhnya. Dalam realitas diri sejati, tidak ada perbedaan maupun keterpisahan, tentunya ini ada karena nyata dalam hidup kita. Ia tidak juga ada dalam sebuah rentang waktu, hadir karena adanya kelahiran atau terpisah karena adanya kematian. Ia berada di dalammu juga, sebuah kesadaran atas keberadaan yang tidak terpisahkan secara universal. Realitas yang sama, konstan, tidak terpisahkan, kesatuan yang maha sempurna dan ilahi. Pengetahuan itu sendiri sederhana dan  terbebaskan, dari apapun. Keabadian menuju keabadian, maka ini menjadi bagian dari pengetahuan itu sendiri bahwa mereka tidak pernah berpulang, dari manapun dan kemanapun, kapanpun.

*Manisha Panchakam (lima tahapan yang ada dalam salah satu jalur penyerahan, jalur pengetahuan (jnana) dalam  philosophy Advaita Vedanta)
For further reference https://youtu.be/OuNEldqpNR4

Now you are alone, but alone in full consciousness mean oneness. One with me, one with them, one with universe. Completely one 🌸☘️❤️🙏

No comments: