Monday, June 3, 2013

Tercampurnya Otak Karno Terhadap porno

"Cuci Otak Bung Parno" (supaya yang tersisa hanya karno)

Cuci dulu otak bag limbic-mu itu, bung parno!
Agar kau HANYA* berpikiran karno pada saat ber-orasi!

Intelektualmu masih tak bisa kau pisahkan dari fantasi geliat tubuh saat kau berdeklarasi,
gelar saja lena itu utk peraduan pribadi.
Mana bisa kau usung kata merdeka jika memerdekakan itu berpihak?
Pada payudara atau dada yang berotot.

Cuci otak karno-mu bung parno.
Agar jalan tidak terbuka setengah pintu kecuali kau ingin terjepit diantaranya lalu jadi fantasimu.

Apa guna kau palingkan muka, karna raga terlihat,
tapi otak picik adalah rangkaian jiwamu yg melalang buana pada area sesat. (RMP)

Bekasi, 31 May 2013

* kata awal TIDAK, diganti dengan HANYA

Tercampurnya Otak Karno Terhadap Porno
Masih banyak otak-otak manusia yang picik dan sempit bahkan otak-otak yang merupakan titisan bung karno-bung karno baru yang seharusnya sudah mendobrak arti kemerdekaan. Merdeka untuk manusia, tanpa terkecuali.

Otak picik yang selalu menganggap tubuh perempuan adalah akar dari semua masalah yang menimbulkan, teror atas nama politik, teror atas nama agama, teror atas nama hukum, teror atas nama media dan bahkan teror atas nama seni dan mungkin teror-teror lainnya yang diciptakan dan pada akhirnya hanya menyudutkan perempuan lewat tubuh mereka. Lalu apakah ini merupakan wacana baru dari bentuk penindasan (baru) dan kekuasaan (baru) terhadap perempuan yang memang terjadi dan diatas namakan tadi?

Teror atas nama politik yang dilakukan dibeberapa kasus kerusuhan baik di Poso dan Jakarta di tahun 1998 atau Ambon di 1999 atas pemerkosaan terhadap perempuan sebagai bentuk baru atas kekuasaan. Atau yang paling sederhana adanya larangan atas camat perempuan di tahun 2010, kiprah perempuan di dunia politik masih minim, tersendat dan bahkan dijegal. Perempuan tidak layak pada posisi penting dalam dunia politik (pengambil keputusan negara?) kecuali sebagai pemanis atas keharusan 30% keterwakilannya dalam partai politik.

Teror atas nama agama yang tersamar dengan beberapa ajarannya salah satunya lewat nikah siri, UU Perkawinan yang juga memposisikan perempuan pada manusia kelas kedua atau lewat munculnya Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1636 tahun 2010 tentang Sunat Perempuan. Dari segi pemimpin agama, bebagai teror juga muncul, seperti ancaman telpon bahkan kekerasan terhadap pendeta-pendeta perempuan (HKBP) yang dianggap tidak pantas berdiri sejajar laki-laki sebagai seorang pencerah kepercayaan.

Teror atas nama hukum atas munculnya PERDA di beberapa daerah yang sungguh menyudutkan perempuan pada mulai dari larangan cara berpakaian, tidak boleh memakai celana (bahkan celana kain), cara duduk membonceng pada sepeda motor dan yang paling aneh adalah larangan menari karena dianggap terlalu provokatif (?), semuanya ada di beberapa kota di Aceh, yang sering disebut sebagai Serambi Mekah. Termasuk hukum adat dibeberapa daerah Indonesia yang mengharuskan perempuan menikah dengan laki-laki yang sudah menyetubuhinya termasuk pemerkosanya sendiri. Peraturan atas larangan jam malam bagi perempuan yang keluar diatas jam 7 malam di daerah Tangerang dan kota Jambi.

Teror atas nama media yang mengidentikan sosok perempuan yang selalu selalu ditampilkan sebagai kaum kaum yang lemah, tertindas, baik melalui iklan atau berita. Perempuan yang digambarkan sangat tipikal dengan area utama, area kekuasaannya yaitu rumah, sebagai ibu rumah tangga. Atau informasi bias gender yang kerap dimunculkan oleh jurnalis sendiri (bisa jurnalis laki-laki bahkan perempuan), seperti kalimat-kalimat judul yang kerap dicetak besar-besaran untuk menarik minat pembaca; "Seorang perempuan umur 19 tahun DIGAGAHI oleh Bapaknya Sendiri" atau "Perempuan Pakai Rok MINI, Diperkosa oleh Sekelompok Pemuda." pemilihan kata atau kaliman yang seolah-olah meberatkan posisi perempuan bahkan pada saat ia menjadi korban. Media tidak seharusnya memperkeruh berita.

Teror atas nama seni yang dilakukan dari dua arah mengecam/menghujat atau bahkan menikmati/memanfaatkan bahwa tari, lukis, puisi bahkan lagu tidak lepas dari peran tubuh perempuan lewat goyangan, lewat profesi (ronggeng, penyanyi dangdut) bahkan lewat syair. Peran perempuan yang (seharusnya) bukan hanya sekedar objek seni. Tubuh perempuan dijadikan pencitraan atau daya jual tersendiri terhadap pelaku seni dibelakangnnya (bisa produser, seniman, penulis bahkan penikmat seni itu sendiri). Tubuh perempuan sebagai produk komoditi. Seni yang seharusnya tetaplah pada posisinya malah menyudutkan perempuan sebagai pemuas syawat.

Ada apa dengan otak tersebut? Ada apa dengan pola berpikir tersebut? Ketika merdeka memihak, bukankah tidak layak lagi disebut kemerdekaan? Kenapa ketika teror itu muncul hanya sosok tubuh perempuan yang menjadi alasan utama.

Memang tidak bisa dipungkiri dari sejarahnya sendiri bahwa Bung Karno adalah seorang pencinta perempuan atau saya asumsikan penikmat perempuan. Tetapi bukankah era itu sudah usang? Apakah belum cukup? Bukankah kita harus muncul sebagai otak bung karno baru yang sudah lepas dari parno?  

No comments: