Sunday, June 7, 2015

Sebuah kisah di malam Minggu

              Malam itu semuanya sudah tidur pulas, suami dan kedua anak saya. Mereka tidur dalam satu ruangan sejak 3 jam yang lalu, maklum sejak anak kedua lahir, kami berempat memang lebih suka tidur bersama dalam satu kamar. Keuntungannya buat saya adalah kemudahan untuk membangunkan suami saat minta bantuan ketika harus mengganti pakaian, popok si kecil atau sekedar bergantian menggendongnya. Hampir setiap malam saya yang selalu tidur paling larut. Bukan karena perubahan kebiasaan akibat memiliki bayi yang biasa terbangun di tengah malam tetapi memang sejak dahulu saya sudah memiliki pola tidur seperti itu (tentu saja itu kebiasaan yang kurang baik). Sepertinya malam terlalu akrab dengan saya.
               
               Seperti malam-malam sebelumnya, dari berbagai macam kegiatan yang biasa saya lakukan untuk mengundang kantuk muncul, saya memilih untuk menonton televisi meski pun tidak ada siaran yang menarik malam itu, sesekali melihat laptop untuk membaca berita online. Tidak ada yang istimewa selain hawa panas menjelang pergantian ke musim kemarau. Seketika saya menghentikan kedua kegiatan saya, tersadar, entah sudah sejak kapan suara anak kecil menangis terdengar. Dari suaranya saya menduga itu adalah suara seorang anak perempuan kecil berusia 4 tahunan, seumuran Grace, anak pertama saya. Sepertinya anak dari tetangga baru sebelah rumah kontrakan yang pindah sejak 6 bulanan yang lalu. Suara tangisnya pelan, penuh jeda dan sedikit sesengukan-menandakan ia menangis sudah cukup lama. Saya mencoba berkonsentrasi, membaca situasi dari keheningan malam, apakah baru saja anak perempuan kecil itu bertengkar dengan saudaranya, apakah dia baru dimarahi oleh orang tuanya, apakah anak perempuan tersebut barusan terjatuh, lalu menangis sambil menahan sakit ataupun lukanya. Atau dia baru terbangun dari sebuah mimpi buruk? Saya mencoba lebih keras lagi menangkap suara-suara lewat dinding rumah yang terbilang cukup tipis dengan cara menempelkan salah satu telinga saya. Ini pernah saya lihat di beberapa adegan film yang memang cukup efektif dan mudah, tentu saja, mengingat biasanya saya bisa menangkap suara aktivitas yang dilakukan tetangga di sebelah saya sehari-harinya, baik di waktu ramai, seperti saat saya sedang menyetel radio atau menonton televisi. Sayangnya tidak banyak yang bisa saya dengar, hanya keyakinan bahwa masih ada orang yang beraktivitas di rumah sebelah. 

               Suara tangisan anak itu belum berhenti. Sendunya menyayat hati saya. Saya gemas tidak kepalang. Bukan apa-apa, naluri saya sebagai seorang ibu jika mendengar anak saya menangis pastinya sebisa mungkin saya akan mencoba menenangkannya segera. Tapi ini, tidak ada reaksi apapun dari orang tua si anak tersebut. Sekilas saya teringat kejadian beberapa tahun. Waktu itu saya pernah menegur dengan sangat keras pada ibu dari keluarga yang mengontrak di rumah sebelah saya sebelumnya. Anak lelakinya yang berumur sekitar 7 atau 8 tahun menangis tersedu-sedu karena dipukul oleh si ibu setelah hampir setengah jam mengetuk-ngetuk pintu sambil memanggil ibunya agar dibukakan. Si ibu memaki sang anak sambil beberapa kali memukulnya dengan alasan bahwa ia baru pulang ke rumah saat magrib setelah bermain dan itu tidak diperbolehkan oleh si ibu. Itu sudah sekitar 2 tahun yang lalu, lalu apa lagi ini? Gumam saya sedikit geram. Saya melirik jam di dinding, tepat pukul setengah dua belas malam. Tidak seharusnya orang tua anak itu membiarkannya terus menerus menangis. Tidak kasihan suaranya habis apa? Lalu kenapa dibiarkan begitu saja? Saya rasa itu bukan cara menghukum anak yang benar. Saya bergegas mengambil kunci pagar dan rumah, saya keluar, melangkah ke rumah sebelah. Tidak berapa lama si ibu keluar setelah saya mengucapkan kata 'permisi' dua kali.

"Ada apa, tan?" ucapnya sedikit kaget dengan kedatangan saya. Saya menarik nafas panjang, mencoba meredakan emosi yang sempat ada di ubun-ubun kepala. "Gimana sih, tan, kok anaknya nangis gak di-diemin? Kasihan kan!" dengan nada sedikit tinggi saya menegurnya langsung pada titik permasalahan. Ia terdiam, saya bisa melihat wajahnya sedikit kebingungan, "Maksudnya gimana, tan?" tanyanya. "Iya, maksud saya, anaknya nangis dari tadi kok tante ngga berusaha menenangkannya?" saya mencoba menjelaskan lebih sopan. "Tapi saya tidak dengar kalau ada yang menangis, lagi pula anak saya tidur semua, tan." ujarnya lalu sedikit melangkah kesamping seolah menunjukkan isi rumahnya yang tadi sempat terhalang oleh tubuhnya. Pintu rumah memang belum sempat ia tutup dan terbuka cukup lebar. Seolah kembali tersadar bahwa memang suara tangisan itu sudah berhenti, tepatnya sejak kapan saya tidak menyadarinya. Dengan sedikit rasa tak percaya saya melihat ke dalam ruang depan rumah itu. Suami si ibu yang sepertinya memperhatikan kami dari dalam sejak tadi tersenyum sopan sambil menganggukkan kepala ketika beradu pandang dengan saya. Televisi masih terlihat menyala. Sementara 2 orang anak laki-laki tidur pulas disampingnya. Bulu kuduk saya langsung merebak, aneh sekali. Lalu suara anak siapa yang saya dengar? Saya memang tidak pernah tahu menahu apakah tetangga saya itu memiliki anak perempuan ataukah laki-laki. Tanpa pikir panjang dan buang waktu saya meminta maaf karena sudah mengganggunya dan berpamitan pulang. Setelah masuk cepat-cepat saya kunci pagar dengan gembok lalu melangkah tergesa menuju pintu depan rumah saya. Tiba-tiba sebuah suara seorang anak perempuan kecil kira-kira 4 tahun usianya terdengar di sayup kesunyian, suaranya tidak asing, pelan namun bisa dengan jelas saya dengar.

"Tante cari saya?"

Kali ini saya tak ingin mencari sumbernya, menoleh pun tidak.



Malam Minggu, 6.6.2015





No comments: