Thursday, February 6, 2020

Advaita Vedanta Lesson by Tejomoyee Ma on Saraswati Pooja

Saya baru saja mendengarkan kembali ajaran Advaita Vedanta dari Tejomoyee Ma melalui aplikasi zoom pada tanggal 31 Januari yang lalu. Sesuatu yang menarik menggelitik hati saya. Tepat ketika kelas tersebut dilakukan, dengan jelas saya bisa melihat bahwa bukanlah suatu kebetulan bahwa saat itu yang memberikan ajaran adalah Tejomoyee, seorang Sanyasini dari International Vedanta Society (IVS) yang dalam posisi menggantikan Swami Ji Nirgunananda yang sedang berhalangan hadir. Hal kedua yang cukup epik adalah ketika saya menyadari bahwa peserta kelas saat itu juga cukup banyak dari devotee laki-laki. Kebetulan sekali topik yang banyak disinggung adalah mengenai peranan perempuan karena sehari sebelumnya IVS merayakan Saraswati Pooja, penghormatan pada dewi pengetahuan. Saya percaya semesta memang mengaturnya indah sedemikian rupa. Tidak ada sesuatu yang kebetulan ketika kita menyadari bahwa kita terkoneksi satu sama lain. Apa yang disampaikan pada kelas tersebut (meski saya sendiri tidak mengikutinya langsung) kembali membuka wawasan baru bagaimana Vedanta menempatkan posisi perempuan dalam laku spiritual di saat agama mengesampingkan peranannya dalam kelas kedua.

Cerita yang disampaikan oleh Bhagavan, baik dalam kisah nyata maupun personifikasi memberikan makna yang sangat mendalam bagaimana sosok perempuan diharapkan untuk mendobrak dirinya sendiri dari keterbatasan yang diciptakan oleh struktur sosial yang tentu saja merupakan sumbangan dari setiap individu dan pikirannya masing-masing. Saya sendiri memaknai bahwa ketika beberapa peserta laki-laki (yang ikut langsung) mendengarkan penjelasan tersebut pada akhirnya bisa mendapatkan pemahaman yang jelas bagaimana IVS dan sosok Bhagavan merealisasikan kata formless dan genderless dalam perwujudan Brahman. Ini akan menjadi penting saat ajaran itu bisa digaungkan terutama dari devotee laki-laki sendiri dalam menyelaraskan kembali nilai-nilai kesetaraan yang telah runtuh dalam peradaban kita. Lagi-lagi ini hanyalah sebuah bentukan pikiran saya sendiri sebagai salah satu devotee perempuan dari keluarga besar IVS dan juga secara langsung melihat, menyaksikan dan mengamati bahwa apa yang ada di pikiran, hati, kata-kata serta perilaku Bhagavan adalah satu. Saya juga berharap bahwa meski ini semata adalah hasil dari buah pemikiran saya, pada akhirnya mampu membawa nilai positif bagi setiap orang yang membacanya.

Sehari sebelumnya, IVS merayakan  Saraswati puja, peringatan pada dewi pengetahuan, Saraswasti. Beberapa cerita bergulir, dimulai dari kepercayaan seseorang ketika melakukan penyembahan terhadap sebuah patung Saraswati. Bhagavan bercerita mengenai pembicaraan Swami Vivekananda dengan seorang raja (yang membantu Swami Vivekananda dalam perjalanannya ke negeri barat). Sang raja bertanya mengapa kita menyembah patung Saraswati, karena menurut sang raja itu hanyalah sebuah patung (clay)? Bukan sesuatu yang hidup. Swami Vivekananda menanggapi hal tersebut sambil menunjuk sebuah foto dari beberapa silsilah keluarga raja dan memintanya untuk meludah. Sang raja mendengar hal tersebut menjadi sangat marah; mengapa kamu meminta hal seperti itu? Kemudian Swami Vivekananda menjawab; mengapa? Itu hanyalah sebuah foto? Tidak hidup. Raja menjawab; Tidak, mereka adalah silsilah saya, keluarga saya, ada kehidupan di dalamnya, sesuatu yang saya hormati. Maka Swami Ji menjelaskan kembali; apabila sebuah gambar bisa menjadi hidup, kenapa tidak dengan Tuhan yang kita sembah (idol). Kita bukan menyembah patung, kita membawa Tuhan yang kita sembah yang memang terbuat dari tanah dalam rupa patung, tetapi kita melihat sebuah kehidupan yang ada dalam Tuhan yang kita sembah. Ada penghormatan dan ada kekuatan yang kita dapatkan dari menyembah Tuhan tersebut.

Manusia sering sekali melihat dan menilai sesuatu hanya dari tampilan inderawinya saja, mereka lupa cara untuk memaknai. Memaknai sesuatu sejatinya adalah menggunakan hati, tetapi ketika pikiran manusia yang dipicu oleh panca indera dilatih terus menerus maka fungsi memaknai dengan rasa melalui hati menjadi terabaikan. Begitu juga saat hubungan manusia dengan Tuhan yang disembah. Manusia yang mengolah rasa melalui hatinya dengan mudah memaknai hubungannya dengan Tuhan bahkan hanya dengan melalui objek perantara, baik dalam sebuah simbol-simbol tertentu, gambar, patung maupun bentuk-bentuk penghormatan melalui persembahan. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa keutuhan Tuhan adalah transendental.

Dalam penjelasan Tejomoyee Ma, Bhagavan lebih spesifik menyinggung lagi mengenai keilahian atau Brahman. Dalam ceritaNya, ada seorang dokter yang berkata kepadanya; Bhagavan, Engkau telah merubah saya, dahulu saya adalah orang yang sangat berbeda, saya bukanlah orang yang disiplin, tetapi sekarang saya memiliki hidup yang baru. Bhagavan seolah-olah menciptakan kita kembali, apa yang terjadi dalam kehidupan saya benar-benar berubah secara keseluruhan setelah datang kepadaMu. Inilah yang terjadi pada setiap orang yang bertemu Bhagavan. Kita seperti terlahir kembali, kita dapat merasakan empati kepada orang lain, hati kita semakin berkembang, tidak lagi berpikir hanya tentang diri sendiri tetapi juga memikirkan sesama. Kita mengembangkan diri kita sendiri saat berpikir juga tentang sesama, dengan begitu kita menjadikan diri kita seseorang yang memiliki kekuatan. Bhagavan saat itu berpesan; kita tidak boleh berpikir bahwa kita hanyalah seorang perempuan biasa, keluarlah dari cara berpikir itu, bahwa semata-mata kita hanyalah sebagai seorang perempuan biasa. Ketika kita berpikir seperti itu maka kita secara tidak langsung menciptakan bermacam rintangan, sebagai perempuan saya tidak bisa melakukan ini, saya tidak seharusnya pergi seorang diri, saya tidak seharusnya melakukan hal ini dan itu. Tetapi ketika kamu melihat bahwa kamu adalah Brahman dan bukan hanya seorang perempuan maka kamu menjadi tidak terbatas. Dengan berpikir kamu hanyalah seorang perempuan maka kamu membuat dirimu menjadi terbatas dan kamu menjadi tidak bisa melampaui hal yang terbatas tersebut. Bhagavan menginginkan kita (terutama perempuan) bukan hanya sekedar ikut bersamanya tetapi juga merubah diri kita, karena hanya dengan melihatnya dan bersamanya tidaklah cukup. Dalam hal ini Bhagavan adalah Guru yang memberi inspirasi (quotation terakhir dari Bhagavan).

Sebuah cerita lain dikisahkan ketika seorang reporter datang kepadaNya dan bertanya bahwa di sekitar masyarakat kita telah banyak terjadi permasalahan. Apakah anda menyadarinya? Tetapi Bhagavan menjawab bahwa ia tidak punya waktu untuk mengobservasi tahu hal-hal seperti itu. Ia mengambil sebuah contoh perumpamaan dalam sebuah permainan bola ping-pong. Jika kita perhatikan, para pemain bola ping-pong benar-benar berusaha berkonsentrasi pada gerak bola kecil tanpa mempedulikan hal-hal lain di sekitarnya. Hal itu dilakukan agar si pemain tidak kehilangan kesempatan untuk memukul bola tersebut. Dalam hidup Saya, fokus Saya hanya pada Tuhan, tidak ada waktu untuk melihat hal lain yang terjadi, hidup saya hanya tertuju pada Tuhan. Maka hidup saya ada di dalam Tuhan. Itulah sebabnya kita tidak perlu berpikir hal-hal lainnya yang tidak penting. Jika kita melakukannya niscaya maka tidak akan ada pikiran lain-lain yang mengganggu datang kepada kita, hanya ada pikiran akan Tuhan.

Kemudian Bhagavan bercerita mengenai ajaran Ramana Maharshi (RM). kita sering berpikir bahwa hawa nafsu, kemarahan, ketamakan, kecemburuan dan hal-hal lainnya adalah masalah utama dari kita. Masalah-masalah tersebutlah yang hampir ada pada setiap orang. Manusia selalu memiliki hasrat terhadap hal-hal duniawi. RM mengatakan dengan sangat indah bahwa kita tidak perlu membasmi karakter-karakter ini bahkan menguranginya, yang kita perlukan hanya menghilangkan pikiran kita sendiri (thoughtless). Kita bisa menjadi seseorang yang thoughtless. Karena pemikiran yang muncul pada kita itulah yang memicu karakter-karakter tadi. Kita tidak suka pada seseorang, si A. Pemikiran tersebut yang membuat saya menjadi marah, amarah bukanlah faktornya. Tetapi faktornya adalah pemikiran saya terhadap objek A atau B atau si C. Ada pemikiran terhadap objek tersebut, maka muncul amarah. Pikiran akan objek tersebutlah merupakan masalah utamanya. Amarah adalah perihal berikutnya. Saya melihat buah pisang, maka saya berpikir bahwa saya menyukai buah pisang tersebut atau ada kain sari yang indah, maka saya berpikir bahwa saya menginginkan kain sari tersebut. Pikiran terhadap objek tersebut adalah hal yang utama. Sebuah pemicunya. Jika saya memiliki pikiran terhadap objek tersebut maka muncul reaksi pada objek tetapi ketika kita tidak memiliki pemikiran apapun terhadap objek tersebut, maka apakah akan terjadi sebuah reaksi? Kita adalah the seer (penyaksi), kita melihat, mengamati dan mengambil hal tersebut, maka itulah sebabnya setiap manusia memiliki reaksi yang berbeda. Kita harus meninggalkan pikiran akan semua objek tersebut, maka tidak akan ada reaksi apapun yang terjadi. Oleh sebab itu Bhagavan berpesan bahwa sangat penting meninggalkan pikiran tersebut. Kamu tidak perlu meninggalkan dunia, kamu tidak perlu meninggalkan apa pun, seolah-olah bertanya; apakah kita mengorbankan sesuatu demi hal tersebut, contoh ketika kita tidak jadi ingin memiliki kain sari, kita merasa kita telah berkorban untuk tidak mendapatkan kain sari yang indah tersebut. Atau ketika kamu mengenakan saffron (memasuki kehidupan selibat, brahmacarya atau monasty), kemudian kita berpikir bahwa kita juga telah mengorbankan segalanya (terutama hal-hal yang bersifat duniawi). Tidak. Tidak ada yang kamu tinggalkan kecuali pikiran tersebut. Karena ketika kamu tertuju hanya pada Tuhan saja. Tidak ada pemikiran lain yang muncul dan ketika kita memikirkan Tuhan, kita tidak perlu memikirkan hal lainnya. Maka pikirkanlah Tuhan 100% secara total. Tentunya tidak mudah, tetapi jika tidak dimulai maka bahkan kita tidak bisa merasakan arti 'tidak mudah' itu sendiri.   

Lebih lanjut Bhagavan berkata; bahwa dalam kehidupan permasalahan selalu akan ada dan muncul, tetapi permasalahan selalu bersifat akan datang dan pergi. Hal itu bisa kita amati dalam majalah atau koran, selalu saja ada bermacam-macam berita atas berbagai macam kejadian, tetapi tentu saja hanya untuk waktu tertentu saja, berapa lama? 1 hari, 2 hari atau 3 dan seterusnya, selalu ada topik baru berikutnya. Dalam dunia ini tidak ada yang nyata, tidak ada yang menjadi cukup serius, kita hanya perlu serius akan Tuhan. bahwa Ia adalah satu-satunya solusi yang permanen. Jika kita terus memikirkan tentang permasalahan, maka masalah tersebut tidak akan pergi, malah akan semakin meningkat lagi dan meluas. Satu-satunya cara menghilangkan permasalahan adalah dengan tidak memikirkan permasalahan itu sendiri, berpikirlah hanya tentang Tuhan. Sama seperti halnya ketika kita terus menerus berpikir bahwa kita punya masalah, maka masalah itu akan tetap ada dan tidak pergi sehingga seolah-olah tidak pernah berakhir. Bhagavan membantu kita untuk menjalani hidup yang baru, hidup sebagai manusia yang pemberani, yang tidak egois dan hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga belajar hidup bagi orang lain dan kita harus bangga akan hal tersebut.

Bhagavan mengambil contoh karakter seorang perempuat kuat, Laksmi Bai, seorang ratu dari Jhansi yang sangat terkenal dalam sejarah India, Bhagavan menginginkan karakter perempuan yang seperti itu, Bhagavan tidak ingin kita berpikir bahwa kita adalah seorang perempuan yang lemah. Ia tidak menginginkan kelemahan, Ia mengingatkan lagi kepada kita (terutama devotee perempuan) mengapa dan apa yang membuat kita datang kepada Bhagavan? Kita ingin menyadari kehadiran/mewujudkan Tuhan (realized God), tidak ada hal lainnya. Itulah yang terpenting, maka ketika kita menyadari Tuhan, kita tidak akan tergantung pada apa pun dan siapa pun. Sangatlah penting untuk mencapai kesadaran tersebut (self realization atau realized ourselves). Apabila kita melihat ke hal-hal lain, maka masalah akan muncul. Kita dan lainnya datang kepada Bhagavan dan kita menciptakan pertemanan, kemudian dengan melihat kita mempengaruhi satu sama lain maka masalah akan muncul. Ketika kita tidak fokus pada Bhagavan dan juga memusatkan perhatian kepada lainnya maka masalah kemudian muncul. Kita hanya perlu bermusatkan diri pada Bhagavan. Tetapi ketika kita memperhatikan apa yang orang lain lakukan? Melihat apa yang orang lain dapatkan dan hal-hal lainnya, maka pikiran muncul terhadap objek (orang tersebut, perilaku dan lainnya). Karena dengan pikiran kita, kita tidak dapat mencerna semua hal. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda, tentunya juga pandangan terhadap Bhagavan, juga setiap devotee memiliki hubungan yang berbeda dengan Bhagavan. Tetapi kita tidak bisa mengamati keseluruhan dari pandangan berbagai macam orang tersebut. Sama halnya dengan binatang bunglon yang bisa merubah warna tubuhnya sesuai dengan kondisi sekitarnya. Setiap orang meyaksikan warna yang berbeda di saat yang berbeda dan berselisih siapa yang paling benar. Tetapi sebenarnya tidak ada yang salah karena semuanya adalah benar. Bunglon merubah warna tubuhnya sesuai kondisi di sekitarnya. Setiap orang merasa memiliki penglihatan yang benar dan mengatakan yang benar. Sama halnya dengan apa yang bisa kita lihat dan apa yang kita rasakan tentang Bhagavan masing-masing.   

Sebuah pengalaman nyata dari Bhagavan tentang ibunya diceritakan kembali saat itu. IbuNya pada waktu itu memiliki penyakit kanker dan sangat menderita. Tetapi sang ibu menyadari bahwa anaknya adalah Tuhan, maka ibunya berkata; kamu adalah Tuhan, maka mengapa saya harus terlalu menderita? Maka Bhagavan menjawab ibunya; Kamu tidak perlu terlalu menderita, ibu, karena Saya adalah anakmu. Ibu Bhagavan melakukan operasi dan 2 hari setelahnya ibuNya meninggal. Di hari terakhirnya Bhagavan menangis terus menerus  di luar ruang ICU ibuNya. Maka datanglah seorang murid dan bertanya padaNya mengapa Ia menangis karena Ialah Tuhan. Maka Bhagavan menjawab; Ya, Saya Tuhan, Saya  mengetahui hal itu dan oleh karena itu Saya tidak bisa memperlihatkan kepada ibu Saya, bahwa ia tidak ingin menderita dan Saya memberikan kesempatan padanya untuk tidak menderita. Bhagavan adalah anak yang sempurna bagi orang tuanya, Ia adalah suami yang sempurna bagi Guru Maa (istri Bhagavan). Pada hal inilah kita tidak bisa menghakimi seseorang (Bhagavan) dari sisi pandangan siapa pun. Kita sendirilah yang harus melihat ke dalam diri kita sendiri, apa yang kita rasakan. Itu yang lebih penting. Ya, saya merasakan Bhagavan adalah Tuhan. Ketika kita mendengarkan pendapat orang lain, pikiran kita dengan sendirinya mudah berubah. Itulah mengapa dalam perjalanan spiritual  yang utama adalah untuk mendengarkan pengamatan kita masing-masing, untuk mendengarkan apa yang kita pikirkan dan kita rasakan setelah datang kepada Bhagavan. Itulah satu-satunya kebenaran. Maka ketika kamu sudah mencapai kesadaran yang sejati (realized God) kamu tidak akan tergantung pada siapa pun. Apa itu Tuhan? Apa itu Brahman? Apakah ini? Apakah itu? Inilah keindahan dari spirituality. Kamu tidak perlu tergantung pada orang lain, tidak dengan Sanyansi manapun, kamu akan mendapatkannya dari dalam (diri). Semua jawaban akan muncul dari dalam, hal itulah yang terindah, tidak tergantung bahwa seseorang akan memberikan kamu jawaban, seseorang akan mengatakan sesuatu, maka kamu akan mengerti. Dalam spiritualitas hanya ada kamu dan Gurumu. Kita memusatkan 100% pada Tuhan (Bhagavan), kebanyakan ketika kita menginginkan sesuatu kita harus memberikan sesuatu. Tetapi Tuhan hanya menginginkan diri kita, saat kita memberikan 100% kita akan mendapatkan 100%. Jika kita hanya memberikan 10% dari diri kita dan 90% sisanya saya berpikir tentang duniawi, lalu bagaimana mungkin kita akan mencapai kesadaran sejati (realization)? Bagaimana mungkin kita berharap Bhagavan memberikan yang 90%, permasalahannya pada kita dan bukan pada Bhagavan (Tuhan). Apa yang kita berikan pada Bhagavan itu yang akan kembali kita terima. Lalu apakah yang akan kita dapatkan? Apakah pencapaian itu? Pencapaian tersebut adalah ketika pada akhirnya kita tidak lagi memiliki keinginan terhadap sesuatu yang bersifat duniawi. Selama kita belum mendapatkannya baik itu rasa damai, Brahman, dan realization dan ketika mencapainya kita pun masih memiliki keinginan terhadap perihal duniawi, maka kesadaran tersebut belumlah sempurna, bahkan jika hal tersebut adalah keinginan (desire) pada kesadaran keilahian sejati. Kamu tidak perlu siapa pun, kamu yang akan mengerti sampai di mana pencapaian itu. Tidak seorang pun yang akhirnya menyempurnakan pencapaian tersebut kecuali dirimu sendiri, tidak juga menjadi penting untuk mendengarkan orang lain karena pada akhirnya kamu adalah Guru bagi dirimu sendiri. Ketika tidak ada lagi keinginan maka pencapaian itu menjadi sempurna, tetapi jika sebaliknya, maka kembali kita harus mengulangnya kembali lagi dan berulang-ulang lagi dan bukan menyakini bahwa kesadaran sejati telah berhenti pada titik tertentu.

Jay Bahagavan! 🤗💐🙏

No comments: