Ini terjadi kira-kira tiga minggu yang lalu. Di suatu sore tiba-tiba otak saya membentuk suatu serat-serat yang saling berkait, melekat dan menciptakan suatu pertanyaan ketika tanpa sadar saya mendorong pintu kaca masuk sebuah mini market.
Pertanyaannya sangat sederhana;
"Kenapa saya lebih memilih mendorong pintu kaca ketika dihadapkan pada dua pilihan; mendorong atau menariknya?"
Sambil berusaha meyakinkan pertanyaan tadi, saya mengurungkan niat untuk langsung membayar apa yang sudah saya beli di kasir. Saya berusaha memperhatikan beberapa orang yang lalu lalang melewati pintu kaca tersebut. Saat masuk ataupun keluar. Ini seperti dejavu, karena terus terang saya melihat semua orang tersebut melakukan hal serupa dengan apa yang saya lakukan. Yaitu mendorong pintu kacanya. Bukan menariknya. Saya bagian dari mereka, seharusnya tidak ada yang aneh.
Pertanyaan yang mengganggu saya itu membuat saya pada akhirnya selalu memperhatikan orang-orang yang keluar masuk sebuah pintu kaca. Pintu kaca yang saya maksud adalah pintu kaca dengan dua pilihan. Biasanya bertuliskan DORONG atau PUSH dan TARIK atau PULL. Tidak bisa disangkal, tulisan seperti ini banyak sekali bertebaran di pintu kaca bangunan-bangunan (ibu kota khususnya). Pintu masuk mall, bank, supermarket, mini market seperti Indomar** atau Alfama** dan pintu-pintu lainnya. Jangan tanyakan saya mengenai teknis mengapa pintu diciptakan seperti itu. Karena kurang tepat nara sumbernya. Alangkah lebih baik pertanyaan seperti itu disimpan untuk seorang arsitek bangunan atau seorang teknik yang (mungkin) bisa menjelaskan mengenai posisi peletakan engsel-engsel, baut dari komposisi pintu kaca tersebut dan lainnya tentu saja.
Dari beberapa pengamatan yang saya lakukan ada berbagai macam gaya
mereka mendorong. Ada yang mendorong dengan tangan kiri, mengenggam erat
pada gagang aluminium. Ada juga yang merentangkan jemarinya lebar-lebar
dan mendorong pada kaca pintu (ada atau tidak gagang aluminium
tersebut). Ataupun ada yang (bahkan) mendorong pintu kaca dengan bahunya. Mungkin
masih ada beberapa gaya lain tetapi tiga yang saya sebutkan tadi yang
paling sering saya lihat. Persamaan dari ketiganya adalah posisi badan
cenderung menjatuhkan ke arah depan atau membuang badan ke arah depan.
Saya tidak cukup puas dengan penglihatan. Saya mencoba bertanya secara lisan kepada beberapa teman saya. Pertanyaan yang mungkin tidak pernah mereka dapatkan dari orang lain (tentunya);
"Kalau kamu buka pintu kaca yang ada tulisannya dorong atau tarik, biasanya kamu dorong atau kamu tarik?"
Dan ternyata memang hampir sebagian besar memberikan jawaban 'DORONG' atau 'PUSH'. Baik yang spontanitas menjawab ataupun yang harus mereka-reka atau berimajinasi terlebih dahulu dengan gambaran nyata yang memang sering mereka lakukan sebelum menjawab pertanyaan saya.
Suatu ketika ada seorang teman yang menjawab pertanyaan saya;
"Ya, tentu saja! Karena secara naluri, manusia mencari segala sesuatu yang memudahkan dirinya!"
"Itu dia! Bukankah tujuannya sama? Masuk ke suatu tempat? Mengapa selalu mencari kemudahan?"
"Bukankah kemudahan itu baik?"
Saya penasaran. Apa yang terjadi ketika saya melakukan sebaliknya? Sehingga suatu ketika saya mencoba menarik pintu kaca tersebut ketika masuk melewati pintu kaca sebuah bank. Ini sesuatu yang berbeda, saya seperti menarik beban ke arah saya.
Ya! Saya menarik sebuah beban ke arah saya! Itu jawabannya! Sedangkan ketika saya pada posisi mendorong saya seperti membuang sebuah beban ke arah lain. Dan seketika itu juga pernyataan teman saya tadi melintas dan membentuk suatu benang merah yang menghubungan sebuah sebab akibat.
Pada dasarnya memang manusia menginginkan segala sesuatunya berjalan dengan lancar, apapun itu. karir, percintaan, pernikahan, keluarga, pendidikan, projek, pertemanan, semua dan bermacam-macam, ya segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Untuk mencapai semua itu menjadi berhasil, tepat, cepat dan (mendekati) sempurna kita perlu usaha. Hanya saja tidak bisa dipungkiri bahwa manusia cenderung berusaha mencari kemudahan untuk suatu keberhasilan. Gambaran inilah yang saya refleksikan pada posisi mendorong tadi. Seperti kehidupan, ketika kita melewati sebuah pintu kaca ada tujuan yang kita inginkan. Yaitu masuk ke suatu ruang baru, entah itu sebuah mall, bank, supermarket, mini market seperti Indomar** atau Alfama** dan pintu-pintu lainnya. Dibalik pintu itulah tujuan kita menanti. Entah itu sekedang melihat-lihat mall atau janjian bertemu seseorang, menabung atau menarik uang (jika itu sebuah bank) atau membeli sesuatu (jika supermarket atau mini market).
Pada saat manusia memutuskan untuk mencari kemudahan, layaknya seseorang yang melewati pintu kaca dengan cara mendorong, mereka cenderung menjatuhkan badan ke arah depan atau membuang badan pada suatu tumpuan. Mereka memberikan beban pada yang lain. Hal tersebut akan berbeda ketika berproses dalam mencapai sesuatu manusia berusaha memikul bebannya tersebut pada dirinya sendiri (refleksi ini tidak mengikut sertakan Tuhan YME yang transenden karena saya sedang membahas hubungan manusia dengan manusia). Sama halnya ketika seseorang berusaha melewati pintu kaca, mereka menarik pintu kaca tersebut ke arahnya, membawa beban tersebut padanya.
Pada dasarnya sungguhlah baik jika kemudahan itu didapatkan tanpa memberikan atau memindahkan bebannya pada orang lain. Tetapi bukankah hidup tidak pernah semudah itu? Lalu jika pintu kaca tersebut ibarat pasangan, teman, orang tua, anak, rekan kerja, partner projek dan lain-lain yang merupakan sosok manusia yang ikut berinteraksi dalam menciptakan, meraih dan mewujudkan sesuatu dengan tujuan berhasil, tepat, cepat dan (mendekati) sempurna. Mengapa kita masih membuang beban kita itu kepada yang mereka? Mengapa tidak mengambil porsi beban masing-masing sehingga akan terasa lebih ringan? Saya rasa ini hanyalah persoalan mudah, bukankah saya juga sebagai manusia ingin kemudahan? Marilah bertanya dalam hati masing-masing;
"Apakah kemudahan yang kamu maksud adalah memberikan atau menambahkan beban yang seharusnya menjadi bagianmu kepada orang lain?"
Mudah-mudahan jawabannya tidak.
Sejak itu saya mempunyai kebiasaan baru setiap kali masuk ataupun keluar dari pintu kaca yang ada tulisannya DORONG atau PUSH dan TARIK atau PULL. Saya berusaha menarik pintu kaca itu, sama seperti saya juga mencoba berusaha mengambil beban yang merupakan bagian saya, sehingga orang yang berinteraksi dengan saya tidak akan saya tambahkan bebannya.
No comments:
Post a Comment